Merajut Kisah di Sepanjang Kendeng
Transkript
Merajut Kisah di Sepanjang Kendeng
MINGGU, 18 AGUSTUS 2013 Gunung Rusak, Air Hilang SM/M Noor Efendi BENTANG KENDENG: Bentang Pegunungan Kendeng Utara dilihat dari wilayah Kecamatan Sukolilo, Pati. (51) Merajut Kisah di Sepanjang Kendeng Masyarakat di lereng Pegunungan Kendeng Utara di Pati selalu menyuguhkan kisah menarik. Dinamisasi masyarakat dan gerakan sosial, terutama untuk alasan ngugemi kelestarian lingkungan alam, selalu jadi perhatian berbagai kalangan. U njuk rasa penolakan rencana pendirian pabrik semen selama ini, misalnya, bisa jadi menunjukkan betapa sebagian besar masyarakat kawasan Pati selatan tak menginginkan investasi itu. Masyarakat selama ini memang tersudut oleh alasan ilmiah. Tak pelak, kekhawatiran mata air bakal berkurang dan bahkan lenyap serta keterancaman aktivitas pertanian dianggap kurang mendasar. Akibatnya, masyarakat apriori terhadap segala proses yang dilakukan investor dalam merencanakan pendirian pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng Utara. Masyarakat berharap tahap penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), yang menjadi syarat pokok sebelum mendirikan perusahaan semen, dilakukan secara terbuka. Mereka khawatir, rekomendasi pengelolaan lingkungan dalam dokumen hasil studi akademis yang melandasi eksploitasi pegunungan karst itu hanya jadi dokumen mati. Mengingat, hampir semua aktivitas penambangan tak diikuti pengelolaan lingkungan yang konsisten. Kekhawatiran warga mewujud dalam ikhtiar menjaga keseimbangan alam demi anak-cucu kelak. Dan, itu langkah yang mendasar. Sebab, mereka khawatir ketiadaan jaminan tanggung jawab terhadap lingkungan bakal memberangus sejarah desa-desa di lereng Pegunungan Kendeng Utara. Padahal, wilayah pedesaan di kaki Pegunungan Kendeng dari Kecamatan Sukolilo, Kayen, Tambakromo, Winong, hingga Pucakwangi menyimpan sejarah yang memengaruhi karakteristik desa-desa tersebut. Termasuk menjadi bagian dari citra diri daerah. Sejauh ini sejarah desa berupa mitologi atau legenda tak banyak terungkap ke permukaan. Hanya sebagian tokoh sepuh yang masih menyimpan dalam memori merekia. Adalah seniman dan aktivis lingkungan Azis Wisanggeni yang berupaya mengumpulkan kisah-kisah itu. Meski dia menyadari langkah itu masih sangat dangkal, minimal cerita pendek (cerpen) yang disarikan dari penuturan pejabat serta tokoh masyarakat di desa-desa lereng Pegununungan Kendeng itu bisa menjadi data awal untuk ditindaklanjuti berupa penggalian sejarah. ”Kumpulan cerita tentang tempat keramat, asal-usul desa, serta perjuangan tokoh desa saya kumpulkan melalui tulisan anakanak. Tujuan saya sederhana, ingin generasi saat ini mengetahui sejarah yang diawali dari desa masing-masing. Selebihnya, mungkin bisa membantu mendokumentasikan penuturan sejarah dari pelaku sejarah atau tokoh terpercaya,” ujar guru SMAPGRI 2 Kayen itu. Dia mengumpulkan kisah desa selama dua tahun terakhir ini. Kini, naskah tersebut masih berserakan dan belum terangkum dalam satu kesatuan tulisan. Dalam ikhtiar itu terkumpul ratusan cerita. Namun banyak naskah cerita sama sehingga perlu proses penyaringan dan penelaahan lebih lanjut. ”Cerita-cerita itu misalnya soal petilasan Mbah Nggoboyo di Desa Brati, Kecamatan Kayen. Di dekat petilasan itu ada mata air yang tak pernah kering. Itu kalau bisa menjadi bagian dari situs sejarah ketika diungkap,” kata dia. Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Gunritno menyatakan kawasan Pegunungan Kendeng Utara diperkirakan menyimpan banyak situs bersejarah. Karena itu dia berharap upaya pengungkapan, meski baru sebatas data kasar, perlu didorong dan didukung. Dia pun berharap selain membantu mendokumentasikan sejarah desa, cerita pendek karya para siswa itu dapat meneguhkan masyarakat untuk mempertahankan lingkungan alam dari ancaman kerusakan. Pemakan Batu Upaya yang sama rasanya perlu dilakukan pula di kawasan berbeda, entah di Blora, Rembang, atau Grobogan — yang menjadi kawasan Pegunungan Kendeng Utara. Mungkin bisa saja hanya berupa unen-unen atau ungkapan, tetapi menyimpan kearifan yang berkait dengan pegunungan kapur itu. Unen-unen semacam itu antara lain hidup di kaki Gunung Butak, bagian dari Pegunungan Kendeng Utara di wilayah Kabupaten Rembang. Mbah Kasrun, begitulah para tetangga memanggil lelaki 74 tahun itu, yang tinggal di RT 4 RW 3 Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang, menuturkan para orang tua dahulu sering berpesan bahwa gunung-gemunung di selatan desa itu bakal terjual. ”Kelak, orang-orang akan makan batu,” ujar Kasrun, menirukan omongan para orang tua dahulu. ”Jika kalimat itu ditelan mentah-mentah, apa adanya, sekarang perkataan orangorang tua itu telah terbukti. Tanah bebatuan yang dulu bisa dikatakan tidak berharga, kini terjual berkali-kali lipat,” ujar dia. Namun, kata dia, sebenarnya makna kalimat itu adalah gunung-gemunung tersebut menyimpan air. Pegunungan itu menjadi tandon air yang mengalirkan air ke berbagai kawasan di sekitarnya, bahkan hingga di Sumber Semen Desa Tahunan, Kecamatan Sale, yang berdebit air sedemikian besar. Air itu juga mengaliri persawahan di kawasan Kebonharjo, Jawa Timur. Perusahaan Daerah Ar Minum (PDAM) pun mengalirkan air itu hingga ke Lasem dan Rembang. ”Itulah yang saya maksud sebagai makna sejati kalimat itu. Jika sesepuh dahulu mengatakan gunung-gunung akan terjual, sebenarnya yang laku dijual adalah air yang merupakan intisari gunung itu. Dan, mengalir ke sawah-sawah yang subur. Ya, batu-batu gunung itu sesungguhnya menyimpan air,” ucap Kasrun. Dan, itu berbeda makna ketika gununggunung itu secara utuh dijual dan ditambang. Bebatuan yang menjadi tandon air itu bakal tak lagi ada. Lalu, bagaimana nasib ratusan hektare sawah-ladang itu kelak? Bagaimana pula nasib warga Rembang yang selama ini bergantung pada air pasokan PDAM? Semula dia tak tahu gunung bebatuan itu merupakan tandon air. Hanya muncul tanda tanya besar dalam hatinya tentang sumber air yang begitu besar di desa-desa di kawasan gunung tersebut. Pertanyaannya terjawab ketika ada keterangan dari anakcucunya tentang fungsi gunung bebatuan itu. ”Saya sangat yakin gunung batu itu tandon air. Mereka menyerap air ketika hujan, lalu mengalirkannya ke sumber-sumber yang tersebar di berbagai kawasan. Bila gunung dirusak, mata air pun rusak,” ucapnya dengan mimik serius. (51) ■ M Noor Efendi, Mulyanto Ari Wibowo PEGUNUNGAN Kendeng adalah pegunungan kapur yang tampak gersang. Namun, sesungguhnya kegersangan secara kasatmata itu menyimpan kekayaan luar biasa, antara lain sumber air. Ya, air mengalir dari celah-celah batu dan akar-akar pepohonan di pegunungan itu. Dan, tersimpan pula berbagai kisah yang merupakan legenda serta mewujud pula dalam tradisi budaya masyarakat di seputar kawasan itu. Di Desa Jurangjero, Kecamatan Bogorejo, Kabupaten Blora, misalnya. Desa paling tinggi di lereng Pegunungan Kendeng itu memiliki tradisi untuk melestarikan dan menjaga harmoni antara alam dan manusia. Setiap tahun di salah satu sumber air, yakni Sedang Dhuwur, masyarakat selalu mengadakan slametan. Mereka menggelar syukuran dengan menyajikan aneka macam jajan pasar dan tumpeng di sumber air tersebut. Itulah yang disebut sedekah bumi. Dalam tradisi itu selalu dan harus dipentaskan pertunjukan wayang kulit. Bagi warga Desa Jurangjero, pergelaran wayang kulit menjadi wajib. Ada mitos bila tak menggelar wayang kulit bakal terjadi pagebluk atau bencana bagi warga desa. Tak mengherankan bila setiap bulan Sela penanggalan Jawa, Sendang Dhuwur pun sangat ramai. Air Sendang Dhuwur juga sangat berarti bagi masyarakat. Meski tak terlalu banyak, sendang itu selalu mengeluarkan air yang menjadi sumber penghidupan dan pemenuhan akan air bersih. Air itu keluar dari celah bebatuan karts dan tertampung di sendang yang dikitari beberapa pohon yang kukuh berdiri. Air itulah yang setiap hari diambil masyarakat untuk keperluan sehari-hari. Bahkan pada musim kemarau air selalu mengucur. ”Setiap tahun di sendang ini selalu ada syukuran dan pertunjukan wayang kulit,” kata Sukarno, tokoh masyarakat Desa Jurangjero. Pagebluk Dia tak memungkiri memang ada mitos jika tak dipergelarkan pertunjukan wayang kulit bakal terjadi pagebluk atau bencana. Selama dia hidup dan tinggal di desa itu, setidaknya sudah dua kali terjadi bencana saat tak ada pergelaran wayang kulit di Sendang Dhuwur. Bencana itu berupa pembunuhan. ”Itu terjadi saat syukuran di sendang tidak dilaksanakan, termasuk pertunjukan wayang kulit,” tutur anggota badan perwakilan desa itu. Selain itu ada satu lagi mitos di desanya, tepatnya di Dusun Kembang, tentang keberadaanb gua di Gunung Gundil dalam gugusan Pegunungan Kendeng. Masyarakat memercaiyai di dalam gua kecil itu banyak enda dan pusaka serta ada sarang burung. ”Memang ada gua kecil. Selama ini pernah dipakai untuk semedi, namun sekarang sudah jarang karena banyak yang semedi tak mendapatkan apa-apa,” ujar Sukarno. Dia mengutarakan banyak pesan dalam setiap pelaksanaan tradisi. Pesan itu antara lain masyarakat harus selalu menjaga sumber air agar airnya tak habis dan bisa dinikmati anak-cucu. Itu pula keyakinan Rasman. Dia menuturkan Gunung Kendeng telah menjadi bagian dari hidupnya sebagai petani. Masyarakat selama ini sangat bergantung pada sumber air dari pegunungan itu. Jika pegunungan itu rusak, hancur pula kehidupan mereka. (51) ■ Sugie Rusyono SM/Sugie Rusyono CELAH BEBATUAN: Air keluar dan mengalir dari bebatuan dan gua-gua di Pegunungan Kendeng di Kecamatan Bogorejo, Blora. (51) Metamorfosis Lumbung Pangan SM/M Noor Efendi Omah Kendeng MASYARAKAT adat Sedulur Sikep memberi pelajaran berharga melalui laku kesetian menjaga lingkungan. Bahkan belakangan keberadaan mereka dalam mempertahankan harmoni alam dan manusia lebih terang mengemuka melalui berbagai media. Komunitas mereka tak lagi berkesan eksklusif. Mereka aktif hadir dan terlibat dalam dialog dan aksi pelestarian lingkungan. Bisa jadi itu merupakan bagian dari peran serta mereka dalam membendung rencana ”serangan” investasi per- tambangan yang dipastikan mengubah bentang Pegunungan Kendeng Utara. Bagi Sedulur Sikep yang bermukim di Kecamatan Sukolilo, Pati, Pegunungan Kendeng Utara merupakan karunia dan kekayaan alam tak tepermanai. Basis pekerjaan mereka yang bertani, karena pantang berdagang, seakan-akan meniscayakan keselarasan dan keseimbangan dengan alam. Selain mendukung keberlangsungan pertanian, Pegunungan Kendeng berikut kandungannya dapat membentengi diri dari aneka marabahaya. Jika menilik pesan tokoh Sedulur Sikep, mendiang Mbah Tarno, kepada Gubernur Bibit Waluyo bahwa Pegunungan Kendeng Utara merupakan punjer (titik pusat) Pulau Jawa. Jika pegunungan itu diganggu akan berdampak buruk terhadap kehidupan penghuni pulau ini. Tentu kebenaran pernyataan itu belum bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Namun barangkali bisa menjadi titik tolak untuk mengkaji lebih detail dan objektif tanpa tendensi investasi yang kapitalistik. Nah, peran warga Samin dalam gerakan penolakan rencana investor pabrik semen mengeksploitasi Pegununungan Kendeng di Pati makin kentara. Kemunculan Omah Kendeng sebagai pusat kegiatan yang berkait dengan pertanian, seni, dan budaya serta kelestarian lingkungan pada 2009 tak terlepas dari peran besar Sedulur Sikep. Awalnya, rumah joglo berbahan dasar kayu jati itu lumbung pangan Sedulur Sikep dan sekarang telah menjadi pusat kegiatan yang dikelola Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Sebagaimana tradisi, Sedulur Sikep membentuk Paguyuban Lumbung untuk me- Oleh M Noor Efendi ngelola lumbung pangan. Lantaran gerakan penolakan terhadap rencana pendirian pabrik semen membutuhkan konsistensi, maka perlu peneguhan melalui forum rembukan rutin di tempat yang dapat dijadikan simbol konsistensi perlawanan. Dari situ, joglo itu dicarikan lahan oleh Sedulur Sikep serta pihak yang peduli. Dan, berdirilah Omah Kendeng di Dukuh Ledok, Desa/Kecamatan Sukolilo. Tanpa Biaya Simbol itu cukup kuat mengikat masyarakat kontrapabrik semen. Rumah berukuran 12 x 14 meter itu ditopang fondasi, separuh dinding, serta lantai tanpa semen yang didirikan tanpa biaya tukang. Ratusan orang bergiliran bergotong-royong. Sebagai penanda perjuangan penolakan pabrik semen, material yang digunakan minus semen. Untuk merekatkan batu kali, batu kapur, dan batu bata digunakan adukan labur yang meliputi batu bata halus, batu gamping halus, tetes tebu, serta tanah padas. ”Nyatane ya bangunan raket lan kukoh, apik tanpa semen. Sing njaba kudanan lan panasen ya ora cepet rusak,” ujar Gunritno, tokoh Sedulur Sikep Sukolilo. Rencana investasi pabrik semen dengan mengeskploitasi Pegunungan Kendeng tidak pernah surut. Investor datang silih berganti. PT Semen Gresik Tbk mengurungkan niat membangun pabrik di Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo, pada 2009. Namun setahun berselang muncul PT Sahabat Mulia Sakti (SMS), yang merupakan anak perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Pegunungan Kendeng yang diincar para investor berada di antara bentangan Kecamatan Sukolilo, Kayen, dan Tambakromo. Untuk Pegunungan Kendeng Utara di wilayah Pati sebenarnya mencapai hingga Kecamatan Winong dan Pucakwangi. Belakangan akivis Omah Kendeng juga menjajal untuk mengolah cangkang keong sawah menjadi bahan perekat bangunan pengganti semen. Cangkang keong yang mengandung kalsium karbonat yang hampir sama dengan batu gamping. Namun upaya diteliti kalangan akademisi. Omah Kendeng yang menempati lahan 1.200 meter persegi cukup representa- tif sebagai tempat pertemuan. Ruangannya mampu menampung puluhan orang. Lingkungan rumah makin eksotik dengan tempat santai di bagian halaman. Sebuah perahu beratap rumbia dipajang di atas kolam ikan sebagai tempat jagong. Gunritno menuturkan tak ada filosofi khusus dalam penataan itu. Perahu tak terpakai itu dimanfaatkan dan cukup selaras untuk mempercantik halaman. Pembicaraan seputar pertanian, lingkungan, dan budaya di Omah Kendeng menarik perhatian tokoh dari berbagai daerah. Sebut saja putri mantan presiden KH Abdurrahman Wahid, Lisa Wahid. Dia pernah jadi bagian dari dialog ”Wungon”. Omah Kendeng dengan segala aktivitas, termasuk pelatihan ekonomi kreatif dan perpustakaan berpengaruh positif bagi masyarakat sekitar. Warga yang semula tak terlalu ambil pusing rencana eksploitasi Pegunungan Kendeng, kini lebih peduli terhadap lingkungan. ”Sedulur mriki seneng kanthi kewontenan Omah Kendeng. Sing asale mboten peduli, saknika sampun peduli kelestarian Pegunungan Kendeng,” ujar Sriyono, warga Dukuh Sanggrahan, Desa/Kecamatan Sukolilo. (51)